Nama dan Nasab
Beliau
bernama Muhammad dengan kunyah Abu Abdillah. Nasab beliau secara lengkap adalah
Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi’ bin as-Saib bin ‘Ubayd
bin ‘Abdu Zayd bin Hasyim bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manaf bin Qushay. Nasab
beliau bertemu dengan nasab Rasulullah pada diri ‘Abdu Manaf bin Qushay. Dengan
begitu, beliau masih termasuk sanak kandung Rasulullah
karena masih terhitung keturunan paman-jauh beliau, yaitu Hasyim bin
al-Muththalib
Para
ahli sejarah dan ulama nasab serta ahli hadits bersepakat bahwa Imam Syafi’i
berasal dari keturunan Arab murni. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah memberi
kesaksian mereka akan kevalidan nasabnya tersebut dan ketersambungannya dengan
nasab Nabi, kemudian mereka membantah pendapat-pendapat sekelompok orang dari
kalangan Malikiyah dan Hanafiyah yang menyatakan bahwa Imam Syafi’i bukanlah
asli keturunan Quraysy secara nasab, tetapi hanya keturunan secara wala’ saja.
Adapun ibu beliau, terdapat perbedaan pendapat tentang jati dirinya. Beberapa
pendapat mengatakan dia masih keturunan al-Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib,
sedangkan yang lain menyebutkan seorang wanita dari kabilah Azadiyah yang
memiliki kunyahUmmu Habibah. Imam an-Nawawi menegaskan bahwa ibu Imam Syafi’i
adalah seorang wanita yang tekun beribadah dan memiliki kecerdasan yang tinggi.
Dia seorang yang faqih dalam urusan agama dan memiliki kemampuan melakukan istinbath.
Waktu dan Tempat Kelahirannya
Beliau
dilahirkan pada tahun 150. Pada tahun itu pula, Abu Hanifah wafat sehingga
dikomentari oleh al-Hakim sebagai isyarat bahwa beliau adalah pengganti Abu
Hanifah dalam bidang yang ditekuninya.
Tentang
tempat kelahirannya, banyak riwayat yang menyebutkan beberapa tempat yang
berbeda. Akan tetapi, yang termasyhur dan disepakati oleh ahli sejarah adalah
kota Ghazzah (Sebuah kota yang terletak di perbatasan wilayah Syam ke arah
Mesir. Tepatnya di sebelah Selatan Palestina. Jaraknya dengan kota Asqalan
sekitar dua farsakh). Tempat lain yang disebut-sebut adalah kota Asqalan dan
Yaman.
Ibnu
Hajar memberikan penjelasan bahwa riwayat-riwayat tersebut dapat digabungkan
dengan dikatakan bahwa beliau dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di
wilayah Asqalan. Ketika berumur dua tahun, beliau dibawa ibunya ke negeri Hijaz
dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang keturunan Yaman karena sang ibu
berasal dari kabilah Azdiyah (dari Yaman). Lalu ketika berumur 10 tahun, beliau
dibawa ke Mekkah, karena sang ibu khawatir nasabnya yang mulia lenyap dan
terlupakan.
Isteri Imam Syafi`i
Dia
menikah dengan seorang perempuan yang bernama Hamidah binti Nafi` bin Unaisah
bin Amru bin Utsman bin Affan.
Anak-anak
Imam Syafi`i
1. Abu Usman Muhammad, dia
seorang hakim di kota Halib, Syam (Syiria).
2. Fatimah.
3. Zainab.
Pertumbuhannya dan Pengembaraannya Mencari Ilmu
![]() |
Biografi Al-Imam Asy-Syafi'i Rahimahullah |
Di
Mekkah, Imam Syafi ‘i dan ibunya tinggal di dekat Syi’bu al-Khaif. Di sana,
sang ibu mengirimnya belajar kepada seorang guru. Sebenarnya ibunya tidak mampu
untuk membiayainya, tetapi sang guru ternyata rela tidak dibayar setelah
melihat kecerdasan dan kecepatannya dalam menghafal. Imam Syafi’i bercerita, “Di
al-Kuttab (sekolah tempat menghafal Alquran), saya melihat guru yang mengajar
di situ membacakan murid-muridnya ayat Alquran, maka aku ikut menghafalnya.
Sampai ketika saya menghafal semua yang dia diktekan, dia berkata kepadaku,
‘Tidak halal bagiku mengambil upah sedikitpun darimu.’” Dan ternyata
kemudian dengan segera guru itu mengangkatnya sebagai penggantinya (mengawasi
murid-murid lain) jika dia tidak ada. Demikianlah, belum lagi menginjak usia
baligh, beliau telah berubah menjadi seorang guru.
Setelah
rampung menghafal Alquran di al-Kuttab, beliau kemudian beralih ke Masjidil
Haram untuk menghadiri majelis-majelis ilmu di sana. Sekalipun hidup dalam
kemiskinan, beliau tidak berputus asa dalam menimba ilmu. Beliau mengumpulkan
pecahan tembikar, potongan kulit, pelepah kurma, dan tulang unta untuk dipakai
menulis. Sampai-sampai tempayan-tempayan milik ibunya penuh dengan
tulang-tulang, pecahan tembikar, dan pelepah kurma yang telah bertuliskan
hadits-hadits Nabi. Dan itu terjadi pada saat beliau belum lagi berusia baligh.
Sampai dikatakan bahwa beliau telah menghafal Alquran pada saat berusia 7
tahun, lalu membaca dan menghafal kitab Al-Muwaththa’ karya Imam
Malik pada usia 12 tahun sebelum beliau berjumpa langsung dengan Imam Malik di
Madinah.
Beliau
juga tertarik mempelajari ilmu bahasa Arab dan syair-syairnya. Beliau
memutuskan untuk tinggal di daerah pedalaman bersama suku Hudzail yang telah
terkenal kefasihan dan kemurnian bahasanya, serta syair-syair mereka. Hasilnya,
sekembalinya dari sana beliau telah berhasil menguasai kefasihan mereka dan
menghafal seluruh syair mereka, serta mengetahui nasab orang-orang Arab, suatu
hal yang kemudian banyak dipuji oleh ahli-ahli bahasa Arab yang pernah berjumpa
dengannya dan yang hidup sesudahnya. Namun, takdir Allah telah menentukan jalan
lain baginya. Setelah mendapatkan nasehat dari dua orang ulama, yaitu Muslim
bin Khalid az-Zanji -mufti kota Mekkah-, dan al-Husain bin ‘Ali bin Yazid agar
mendalami ilmu fiqih, maka beliau pun tersentuh untuk mendalaminya dan mulailah
beliau melakukan pengembaraannya mencari ilmu.
Beliau
mengawalinya dengan menimbanya dari ulama-ulama kotanya, Mekkah, seperti Muslim
bin Khalid, Dawud bin Abdurrahman al-‘Athar, Muhammad bin Ali bin Syafi’ -yang
masih terhitung paman jauhnya-, Sufyan bin ‘Uyainah -ahli hadits Mekkah-,
Abdurrahman bin Abu Bakar al-Maliki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin ‘Iyadh, dan
lain-lain. Di Mekkah ini, beliau mempelajari ilmu fiqih, hadits, lughoh, dan Muwaththa’ Imam
Malik. Di samping itu beliau juga mempelajari keterampilan memanah dan
menunggang kuda sampai menjadi mahir sebagai realisasi pemahamannya terhadap
ayat 60 surat Al-Anfal. Bahkan dikatakan bahwa dari 10 panah yang dilepasnya, 9
di antaranya pasti mengena sasaran.
Setelah
mendapat izin dari para syaikh-nya untuk berfatwa, timbul keinginannya untuk
mengembara ke Madinah, Dar as-Sunnah, untuk mengambil ilmu dari para ulamanya.
Terlebih lagi di sana ada Imam Malik bin Anas, penyusun al-Muwaththa’.
Maka berangkatlah beliau ke sana menemui sang Imam. Di hadapan Imam Malik,
beliau membaca al-Muwaththa’ yang telah dihafalnya di Mekkah, dan
hafalannya itu membuat Imam Malik kagum kepadanya. Beliau menjalani mulazamah kepada
Imam Malik demi mengambil ilmu darinya sampai sang Imam wafat pada tahun 179.
Di samping Imam Malik, beliau juga mengambil ilmu dari ulama Madinah lainnya
seperti Ibrahim bin Abu Yahya, ‘Abdul ‘Aziz ad-Darawardi, Athaf bin Khalid,
Isma’il bin Ja’far, Ibrahim bin Sa’d dan masih banyak lagi.
Setelah
kembali ke Mekkah, beliau kemudian melanjutkan mencari ilmu ke Yaman. Di sana
beliau mengambil ilmu dari Mutharrif bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf al-Qadhi,
serta yang lain. Namun, berawal dari Yaman inilah beliau mendapat cobaan -satu
hal yang selalu dihadapi oleh para ulama, sebelum maupun sesudah beliau-. Di
Yaman, nama beliau menjadi tenar karena sejumlah kegiatan dan kegigihannya
menegakkan keadilan, dan ketenarannya itu sampai juga ke telinga penduduk
Mekkah. Lalu, orang-orang yang tidak senang kepadanya akibat kegiatannya tadi
mengadukannya kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, Mereka menuduhnya hendak
mengobarkan pemberontakan bersama orang-orang dari kalangan Alawiyah.
Sebagaimana
dalam sejarah, Imam Syafi’i hidup pada masa-masa awal pemerintahan Bani
‘Abbasiyah yang berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Pada masa itu,
setiap khalifah dari Bani ‘Abbasiyah hampir selalu menghadapi pemberontakan
orang-orang dari kalangan ‘Alawiyah. Kenyataan ini membuat mereka bersikap
sangat kejam dalam memadamkan pemberontakan orang-orang ‘Alawiyah yang
sebenarnya masih saudara mereka sebagai sesama Bani Hasyim. Dan hal itu
menggoreskan rasa sedih yang mendalam pada kaum muslimin secara umum dan pada
diri Imam Syafi’i secara khusus. Dia melihat orang-orang dari Ahlu Bait Nabi
menghadapi musibah yang mengenaskan dari penguasa. Maka berbeda dengan sikap
ahli fiqih selainnya, beliau pun menampakkan secara terang-terangan rasa
cintanya kepada mereka tanpa rasa takut sedikitpun, suatu sikap yang saat itu
akan membuat pemiliknya merasakan kehidupan yang sangat sulit.
Sikapnya
itu membuatnya dituduh sebagai orang yang bersikap tasyayyu’, padahal
sikapnya sama sekali berbeda dengan tasysyu’ model orang-orang
syi’ah. Bahkan Imam Syafi’i menolak keras sikap tasysyu’ model mereka
itu yang meyakini ketidakabsahan keimaman Abu Bakar, Umar, serta ‘Utsman , dan
hanya meyakini keimaman Ali, serta meyakini kemaksuman para imam mereka.
Sedangkan kecintaan beliau kepada Ahlu Bait adalah kecintaan yang didasari oleh
perintah-perintah yang terdapat dalam Al-Quran maupun hadits-hadits shahih. Dan
kecintaan beliau itu ternyata tidaklah lantas membuatnya dianggap oleh
orang-orang syiah sebagai ahli fiqih madzhab mereka.
Tuduhan
dusta yang diarahkan kepadanya bahwa dia hendak mengobarkan pemberontakan,
membuatnya ditangkap, lalu digelandang ke Baghdad dalam keadaan dibelenggu
dengan rantai bersama sejumlah orang-orang ‘Alawiyah. Beliau bersama
orang-orang ‘Alawiyah itu dihadapkan ke hadapan Khalifah Harun ar-Rasyid.
Khalifah menyuruh bawahannya menyiapkan pedang dan hamparan kulit. Setelah
memeriksa mereka seorang demi seorang, ia menyuruh pegawainya memenggal kepala
mereka. Ketika sampai pada gilirannya, Imam Syafi’i berusaha memberikan
penjelasan kepada Khalifah. Dengan kecerdasan dan ketenangannya serta pembelaan
dari Muhammad bin al-Hasan -ahli fiqih Irak-, beliau berhasil meyakinkan
Khalifah tentang ketidakbenaran apa yang dituduhkan kepadanya. Akhirnya beliau
meninggalkan majelis Harun ar-Rasyid dalam keadaan bersih dari tuduhan
bersekongkol dengan ‘Alawiyah dan mendapatkan kesempatan untuk tinggal di
Baghdad.
Di
Baghdad, beliau kembali pada kegiatan asalnya, mencari ilmu. Beliau meneliti
dan mendalami madzhab Ahlu Ra’yu. Untuk itu beliau berguru dengan mulazamah
kepada Muhammad bin al-Hassan. Selain itu, kepada Isma ‘il bin ‘Ulayyah dan
Abdul Wahhab ats-Tsaqafiy dan lain-lain. Setelah meraih ilmu dari para ulama
Irak itu, beliau kembali ke Mekkah pada saat namanya mulai dikenal. Maka
mulailah ia mengajar di tempat dahulu ia belajar.
Ketika musim haji tiba,
ribuan jamaah haji berdatangan ke Mekkah. Mereka yang telah mendengar nama
beliau dan ilmunya yang mengagumkan, bersemangat mengikuti pengajarannya sampai
akhirnya nama beliau makin dikenal luas. Salah satu di antara mereka adalah
Imam Ahmad bin Hanbal.
Ketika
kamasyhurannya sampai ke kota Baghdad, Imam Abdurrahman bin Mahdi mengirim
surat kepada Imam Syafi’i memintanya untuk menulis sebuah kitab yang berisi khabar-khabar yang maqbul,
penjelasan tentang nasikh dan mansukh dari ayat-ayat
Alquran dan lain-lain. Maka beliau pun menulis kitabnya yang terkenal, Ar-Risalah.
Setelah
lebih dari 9 tahun mengajar di Mekkah, beliau kembali melakukan perjalanan ke
Irak untuk kedua kalinya dalam rangka menolong madzhabAsh-habul Hadits di
sana. Beliau mendapat sambutan meriah di Baghdad karena para ulama besar di
sana telah menyebut-nyebut namanya. Dengan kedatangannya, kelompok Ash-habul
Hadits merasa mendapat angin segar karena sebelumnya mereka merasa
didominasi oleh Ahlu Ra’yi. Sampai-sampai dikatakan bahwa ketika beliau
datang ke Baghdad, di Masjid Jami ‘ al-Gharbi terdapat sekitar 20 halaqah Ahlu
Ra ‘yu. Tetapi ketika hari Jumat tiba, yang tersisa hanya 2 atau 3 halaqah
saja.
Beliau
menetap di Irak selama dua tahun, kemudian pada tahun 197 beliau balik ke
Mekkah. Di sana beliau mulai menyebar madzhabnya sendiri. Maka datanglah para
penuntut ilmu kepadanya meneguk dari lautan ilmunya. Tetapi beliau hanya berada
setahun di Mekkah.
Tahun
198, beliau berangkat lagi ke Irak. Namun, beliau hanya beberapa bulan saja di
sana karena telah terjadi perubahan politik. Khalifah al-Makmun telah dikuasai
oleh para ulama ahli kalam, dan terjebak dalam pembahasan-pembahasan tentang
ilmu kalam. Sementara Imam Syafi’i adalah orang yang paham betul tentang ilmu
kalam. Beliau tahu bagaimana pertentangan ilmu ini dengan manhaj as-salaf
ash-shaleh -yang selama ini dipegangnya- di dalam memahami masalah-masalah
syariat. Hal itu karena orang-orang ahli kalam menjadikan akal sebagai patokan
utama dalam menghadapi setiap masalah, menjadikannya rujukan dalam memahami
syariat padahal mereka tahu bahwa akal juga memiliki keterbatasan-keterbatasan.
Beliau tahu betul kebencian meraka kepada ulama ahlu hadits. Karena itulah
beliau menolak madzhab mereka.
Dan
begitulah kenyataannya. Provokasi mereka membuat Khalifah mendatangkan banyak
musibah kepada para ulama ahlu hadits. Salah satunya adalah yang dikenal
sebagai Yaumul Mihnah, ketika dia mengumpulkan para ulama untuk menguji
dan memaksa mereka menerima paham Alquran itu makhluk. Akibatnya, banyak ulama
yang masuk penjara, bila tidak dibunuh. Salah satu di antaranya adalah Imam
Ahmad bin Hanbal. Karena perubahan itulah, Imam Syafi’i kemudian memutuskan
pergi ke Mesir. Sebenarnya hati kecilnya menolak pergi ke sana, tetapi akhirnya
ia menyerahkan dirinya kepada kehendak Allah. Di Mesir, beliau mendapat
sambutan masyarakatnya. Di sana beliau berdakwah, menebar ilmunya, dan menulis
sejumlah kitab, termasuk merevisi kitabnya ar-Risalah, sampai akhirnya
beliau menemui akhir kehidupannya di sana.
Imam
Syafi'i adalah seorang sosok yang memiliki banyak keistimewaan, diantaranya
keistimewaanya ialah :
Pertama : Al-Imam Asy-Syafi'i adalah imam dalam lugoh (bahasa). Beliau telah banyak tinggal bersama Qobilah Hudzal dan menghafalkan banyak qoshidah (bait-bait sya'ir) mereka, sehingga hal ini sangat mempengaruhi kekuatan bahasa Arab beliau. Karenanya tidak pernah ditemukan kesalahan bahasa dari beliau sebagaimana ditemukan dari para ulama yang lain. Ibnu Hisyaam (penulis siroh Nabi) berkata الشَّافِعِيُّ حُجَّةٌ فِي اللُّغَةِ "Asy-Syafi'i hujjah dalam bahasa Arab" (Al-Waafi bil Wafaayaat 19/143).
Adapun kritikan terhadap Al-Imam Asy-Syafi'i dalam masalah bahasa maka tidak mematahkan keimaman beliau dalam bahasa Arab. Diantara kritikan tersebut :
- Beliau dikritik karena menyatakan bahwa huruf jar baa' (الباء) memberikan faedah التَّبْعِيْض "sebagian/parsial". Karenanya beliau menyatakan bolehnya mengusap sebagian kepala tatkala berwudu karena Allah berfirman (وَامْسَحُوا بِـرُؤُوْسِكُمْ). Maka beliaupun diingkari oleh sebagian ulama, mereka menyatakan bahwa huruf baa' tidak mengandung makna "parsial", dan ini tidak dikenal dalam bahasa Arab, dan tidak ada ahli bahasa yang menyebutkan bahwa diantara makna-makna yang dikandung huruf baa' adalah untuk parsial. Akan tetapi kenyataannya ternyata banyak ahli bahasa yang menetapkan makna ini (huruf baa' memberi makna faedah parsial) diantaranya adalah Al-Ashma'i dan ulama Kufiyiin (lihat Al-Bahr Al-Muhiith fi Ushuul Al-Fiqh li Az-Zarkasyi 2/15-16).
Ternyata juga setelah diamati ada bukti yang tegas bahwasanya Al-Imam Asy-Syafi'i menyatakan bahwa huruf baa' memberi faedah "parsial". Dan penisbatan hal ini kepada Al-Imam Asy-Syafi'i merupakan kekeliruan sebagaimana dijelaskan oleh Az-Zarkasy (Al-Bahrul Al-Muhiith (2/15). Bahkan jika kita kembali kepada kitab Al-Umm kita akan dapati bahwasanya Asy-Syafi'i berkata :
Pertama : Al-Imam Asy-Syafi'i adalah imam dalam lugoh (bahasa). Beliau telah banyak tinggal bersama Qobilah Hudzal dan menghafalkan banyak qoshidah (bait-bait sya'ir) mereka, sehingga hal ini sangat mempengaruhi kekuatan bahasa Arab beliau. Karenanya tidak pernah ditemukan kesalahan bahasa dari beliau sebagaimana ditemukan dari para ulama yang lain. Ibnu Hisyaam (penulis siroh Nabi) berkata الشَّافِعِيُّ حُجَّةٌ فِي اللُّغَةِ "Asy-Syafi'i hujjah dalam bahasa Arab" (Al-Waafi bil Wafaayaat 19/143).
Adapun kritikan terhadap Al-Imam Asy-Syafi'i dalam masalah bahasa maka tidak mematahkan keimaman beliau dalam bahasa Arab. Diantara kritikan tersebut :
- Beliau dikritik karena menyatakan bahwa huruf jar baa' (الباء) memberikan faedah التَّبْعِيْض "sebagian/parsial". Karenanya beliau menyatakan bolehnya mengusap sebagian kepala tatkala berwudu karena Allah berfirman (وَامْسَحُوا بِـرُؤُوْسِكُمْ). Maka beliaupun diingkari oleh sebagian ulama, mereka menyatakan bahwa huruf baa' tidak mengandung makna "parsial", dan ini tidak dikenal dalam bahasa Arab, dan tidak ada ahli bahasa yang menyebutkan bahwa diantara makna-makna yang dikandung huruf baa' adalah untuk parsial. Akan tetapi kenyataannya ternyata banyak ahli bahasa yang menetapkan makna ini (huruf baa' memberi makna faedah parsial) diantaranya adalah Al-Ashma'i dan ulama Kufiyiin (lihat Al-Bahr Al-Muhiith fi Ushuul Al-Fiqh li Az-Zarkasyi 2/15-16).
Ternyata juga setelah diamati ada bukti yang tegas bahwasanya Al-Imam Asy-Syafi'i menyatakan bahwa huruf baa' memberi faedah "parsial". Dan penisbatan hal ini kepada Al-Imam Asy-Syafi'i merupakan kekeliruan sebagaimana dijelaskan oleh Az-Zarkasy (Al-Bahrul Al-Muhiith (2/15). Bahkan jika kita kembali kepada kitab Al-Umm kita akan dapati bahwasanya Asy-Syafi'i berkata :
وَدَلَّتْ السُّنَّةُ
على أَنْ ليس على الْمَرْءِ مَسْحُ الرَّأْسِ كُلِّهِ وإذا دَلَّتْ السُّنَّةُ على
ذلك فَمَعْنَى الْآيَةِ أَنَّ مَن مَسَحَ شيئا من رَأْسِهِ أَجْزَأَهُ
"Sunnah menunjukkan bahwasanya tidak wajib bagi seseorang untuk mengusap
seluruh kepalanya, dan jika sunnah telah menunjukkan demikian maka makna ayat
adalah barang siapa yang mengusap sesuatupun dari kepalanya maka sudah
cukup/sah) (lihat Al-Umm 1/26)Yang dimaksud dengan sunnah oleh Al-Imam Asy-Syafi'i di sini adalah hadits tentang Nabi yang berwudu dengan mengusap ubun-ubun beliau saja tatkala beliau memakai sorban.
- Beliau dikritik karena menafsirkan kata "الْعَوْلُ" dalam firman Allah
ذَلِكَ أَدْنَى أَلا
تَعُولُوا
"Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya" (QS
An-Nisaa :3).
Tafsiran Asy-Syafi'i ini diingkari dengan keras oleh Ibnul 'Arobi yang bermadzhab Maliki, dan menyatakan bahwa tidak ada ahli bahasa yang berpendapat dengan pendapat Asy-Syafi'i (lihat Ahkaamul Qur'an li Ibnil 'Arobi 1/411). Akan tetapi perkataan Ibnul 'Arobi ini telah dibantah oleh para ulama. Makna tersebut ternyata telah disebutkan oleh Al-Kisaai dan Al-Farroo' (lihat Al-Haawi fi Fiqh Asy-Syaafi'i 11/415 dan Al-Majmuu' Syarh Al-Muhadzab 16/125). Bahkan Al-Qurthubi yang juga bermadzhab Malikiyah telah membantah perkataan Ibnul 'Arobi dengan menjelaskan bahwa tafsiran Asy-Syafi'i bukanlah tafsiran yang baru, telah mendahului beliau dua imam besar yaitu Zaid bin Aslam dan Jaabir bin Zaid (lihat Tafsiir Al-Qurthubi 5/21-22)
Kedua : Sya'ir-sya'ir beliau yang istimewa
Al-Imam Asy-Syafi'i tidak banyak menulis sya'ir-sya'ir, akan tetapi sya'ir-sya'ir beliau sederhana mudah dipahami dan mengandung makna yang sangat dalam. Meskipun ada sya'ir-sya'ir para ulama bahasa yang lain yang lebih nampak ketinggian bahasanya dalam sya'ir-sya'ir mereka akan tetapi ternyata kesohoran sya'ir-sya'ir Asy-Syafi'i lebih besar karena kandungan makna yang dalam dengan penggunaan kata-kata yang sederhana.
Diantara sya'ir-sya'ir beliau :
Aku bunuh sifat tamak yang ada pada diriku, maka akupun menenangkan diriku
Karena jiwa kapan ia tamak maka rendahlah jiwa tersebut
وَأَحْيَيْتُ
القُنُوع وَكَانَ مَيْتاً ** ففي إحيائهِ عرضٌ مصونُ
Dan aku hidupkan sifat qona'ah pada diriku yang tadinya telah mati….
Maka dengan mengidupkannya harga dirikupun terjaga…
إذا طمعٌ يحلُ بقلبِ
عبدٍ ** عَلَتْهُ مَهَانَةٌ وَعَلاَهُ هُونُ
Jika sifat tamak telah menetap di hati seorang hamba….maka ia akan didominasi
oleh kehinaan dan dikuasai kerendahan
Beliau berkata :
نَعِيبُ زمانَنا
والعيبُ فِيْنا *** وَما لِزَمانِنا عَيْبٌ سِوانا
"Kita mencela zaman kita, padahal celaan itu ada pada diri kita sendiri...
Dan zaman kita tidaklah memiliki aib/celaan kecuali kita sendiri"
Beliau berkata :
لَمَّا عَفَوْتُ
وَلَمْ أحْقِدْ عَلَى أحَدٍ ** أَرَحْتُ نَفْسِي مِنْ هَمَّ الْعَدَاوَاتِ
Tatkala aku memaafkan maka akupun tidak membenci seorangpun…
Akupun merilekskan diriku dari kesedihan dan kegelisahan (yang timbul akibat)
permusuhan
إنِّي أُحَيِّي
عَدُوِّي عنْدَ رُؤْيَتِهِ ** لِأَدْفَعَ الشَّرَّ عَنِّي بِالتَّحِيَّاتِ
Aku memberi salam kepada musuhku tatkala bertemu dengannya…untuk menolak
keburukan dariku dengan memberi salam
وأُظْهِرُ الْبِشْرَ
لِلإِنْسَانِ أُبْغِضهُ ** كَمَا إنْ قدْ حَشَى قَلْبي مَحَبَّاتِ
Aku menampakkan senyum kepada orang yang aku benci… sebagaimana jika hatiku
telah dipenuhi dengan kecintaan
النَّاسُ داءٌ
وَدَاءُ النَّاسِ قُرْبُهُمُ ** وَفِي اعْتِزَالِهِمُ قَطْعُ الْمَوَدَّاتِ
Orang-orang adalah penyakit, dan obat mereka adalah dengan mendekati mereka…
dan sikap menjauhi mereka adalah memutuskan tali cinta kasih
Beliau berkata :
بقَدْرِ الكدِّ
تُكتَسَبُ المَعَــالي ....ومَنْ طَلبَ العُلا سَهِـرَ اللّيالي
Ketinggian diraih berdasarkan ukuran kerja keras…
Barang siapa yang ingin meraih puncak maka dia akan begadang
ومَنْ رامَ العُلى
مِن ْغَيرِ كَـدٍّ .....أضَاعَ العُمرَ في طَـلَبِ المُحَالِ
Barang siapa yang mengharapkan ketinggian/kemuliaan tanpa rasa letih…
Maka sesungguhnya ia hanya menghabiskan usianya untuk meraih sesuatu yang
mustahil…
تَرُومُ العِزَّ ثم
تَنامُ لَيـلاً .....يَغُوصُ البَحْرَ مَن طَلَبَ اللآلي
Engkau mengharapkan kejayaan lantas di malam hari hanya tidur aja??
Orang yang yang mencari mutiara harus menyelam di lautan…
Beliau berkata :
إِذَا أَصْبَحْتُ
عِنْدِي قُوْتُ يَوْمٍ ... فَخَلِّ الْهَمَّ عَنِّي يَا سَعِيْدُ
Jika di pagi hari dan aku telah memiliki makanan untuk hari ini…
Maka hilangkanlah kegelisahan dariku wahai yang berbahagia
وَلاَ هُتَخْطُرْ
مُوْمُ غَدٍ بِبَالِي ... فَإِنَّ غَدًا لَهُ رِزْقٌ جَدِيْدُ
Dan tidaklah keresahan esok hari terbetik di benakku….
Karena sesungguhnya esok hari ada rizki baru yang lain
أُسَلِّمُ إِنْ
أَرَادَ اللهُ أَمْراً ... فَأَتْرُكُ مَا أُرِيْدُ لِمَا يُرِيْدُ
Aku pasrah jika Allah menghendaki suatu perkara…
Maka aku biarkan kehendakku menuju kehendakNya
Ketiga : Tegar Di Atas Sunnah dan Memerangi Bid'ah
Al-Imam Asy-Syafi'i digelari dengan نَاصِرُ الْحَدِيْثِ "Penolong hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam". Pengagungan beliau terhadap sunnah-sunnah Nabi sangatlah nampak. Karenanya beliau sering berdebat dengan ahlul bid'ah dan mematahkan hujjah-hujjah mereka. Demikian juga di Baghdad adanya sikap mendahulukan ro'yu (pendapat) dari pada sunnah-sunnah Nabi, sehingga sunnah-sunnah Nabi ditolak dengan berbagai metode. Al-Imam Asy-Syafi'i datang dan membantah dan mematahkan pemikiran yang menyimpang tersebut. Akan datang penjelasan yang lebih dalam tentang bantahan Al-Imam Asy-Syafi'i terhadap ahlul bid'ah.
Keempat : Kharismatik Al-Imam Asy-Syafi'i
Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah memiliki kharismatik dan daya tarik yang luar biasa, hingga ulama-ulama besar yang ada di Baghdad tertarik dengan beliau dan belajar kepada beliau. Seperti Al-Imam Ahmad bin Hanbal dan Abu Tsaur yang masing-masing ternyata memiliki madzhab tersendiri, akan tetapi mereka belajar kepada Al-Imam Asy-Syafi'i dan sangat mencintai dan mengagungkan Al-Imam Asy-Syafi'i. Abu Tsaur pernah ditanya :
"Manakah yang lebih faqih, Asy-Syafi'i ataukah Muhammad bin Al-Hasan?". Dan Muhammad bin Al-Hasan adalah guru Al-Imam Asy-Syafi'i, beliau menimba ilmu darinya tatkala beliau menetap di Baghdad.
Akan tetapi apa jawaban Abu Tsaur??. Beliau berkata :
الشافعي أفقه من
محمد، وأبي يوسف، وأبي حنيفة، وحماد، وإبراهيم، وعلقمة، والأسود
"Asy-Syafi'i lebih faqih dari pada Muhammad bin Al-Hasan dan juga Abu
Yusuf (Muhamamad bin Al-Hasan dan Abu Yusuf adalah murid senior Abu
Hanifah-pen), dan lebih faqih dari Abu Hanifah, dan juga lebih faqih dari
Hammad (gurunya Abu Hanifah-pen), dan lebih faqih dari Ibrahim (gurunya
Hammad-pen), dan lebih faqih daripada 'Alqomah (gurunya Ibrahim-pen), dan lebih
faqih daripada Al-Aswad (gurunya 'Alqomah)" (Mukhtashor Taarikh Dimasyq
6/434)Padahal Abu Tsaur dahulunya mengikuti madzhab Ahlu Ro'yi di Baghdad sebelum datangnya Al-Imam Asy-Syafi'i. Jawaban Abu Tsaur ini menunjukkan kecintaan yang sangat dalam kepada Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah.
Lihatlah bagaimana cintanya Al-Imam Ahmad kepada gurunya Asy-Syafi'i, sehingga beliau pernah berkata :
سِتَّةٌ أَدْعُوا
لَهُمْ سَحراً، أَحَدُهُمْ الشَّافِعِيُّ
"Enam orang yang aku mendoaakan mereka di waktu sahur (sebelum subuh),
salah satunya adalah Asy-Syafi'i" (Taariikh Al-Islaam li Adz-Dzhabi
14/312)Al-Imam Ahmad bin Hanbal terlalu sering mendoakan Asy-Syafi'i, sampai-sampai anak beliau Abdullah bertanya kepada beliau :
يَا أَبَةِ، أَيُّ
رَجُلٍ كَانَ الشَّافِعِيُّ فَإِنِّي سَمِعْتُكَ تُكْثِرُ مِنَ الدُّعَاءِ لَهُ
"Wahai ayahanda, siapakah Asy-Syafi'i itu, aku mendengarmu banyak
mendoakannya?".Al-Imam Ahmad menjawab :
يَا بُنَيَّ، كَانَ
الشَّافِعِيُّ كَالشَّمْسِ لِلدُّنْيَا، وَكَالْعَافِيَةِ لِلنَّاسِ، فَهَل
لِهَذَيْنِ مِنْ خَلَفٍ؟
"Wahai putraku, Asy-Syafi'i seperti matahari bagi dunia, seperti
keselamatan bagi manusia, maka apakah ada pengganti bagi kedua kenikamatan
ini?" (Taarikh Al-Islaam 14/312)Karena ilmu dan dakwah Al-Imam Asy-Syafi'i diterima oleh masyarakat dan para ulama secara luas maka munculah orang-orang yang tidak suka kepada beliau. Diantara mereka adalah salah seorang ulama bermadzhab Maliki yang bernama Asyhub. Tatkala Al-Imam Asy-Syafi'i datang ke Mesir beliau tidak bertemu dengan murid-murid Imam Malik kecuali dua orang yaitu Muhammad bin Abdillah bin Abdil Hakim dan Asyhub.
Muhammad bin Abdillah bin Abdil Hakim berkata :
سَمِعْتُ أَشْهُبَ
فِي سُجُوْدِهِ يَدْعُو عَلَى الشَّافِعِي بِالْمَوْتِ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ
لِلشَّافِعِي
"Aku mendengar Asyhub dalam sujudnya mendoakan agar Asy-Syafi'i meninggal.
Maka akupun menyebutkan hal tersebut kepada Asy-Syafi'i"Dalam riwayat yang lain Asyhub berdoa :
اللَّهُمَّ أَمِتِ
الشَّافِعِيَّ فَإِنَّكَ إِنْ أَبْقَيْتَهُ اِنْدَرَسَ مَذْهَبُ مَالِكٍ
"Ya Allah matikanlah Asy-Syafi'i, karena kalau Engkau membiarkannya hidup
maka akan punah madzhab Imam Malik"Maka Al-Imam Asy-Syafi'i heran dengan hal ini, lalu ia berkata dengan menyebut sya'ir :
تَمَنَّى رِجَالٌ
أَنْ أَمُوْتَ وَإِنْ أَمُتْ فَتِلْكَ سَبِيْلٌ لَسْتُ
فِيْهَا بَأَوْحَدِ
Beberapa lelaki berangan-angan kematianku, dan jika akupun mati….Maka (kematian) itu adalah jalan yang tidak ditempuh oleh aku sendirian…
فَقُلْ لِلَّذِي
يَبْغِي خِلاَفَ الَّذِي مَضَى تَزَوَّدْ لِأُخْرَى
مِثْلِهَا فَكَأَنْ قَدِ
Maka katakanlah kepada orang yang menginginkan berbedanya apa yang telah
berlalu…Hendaknya engkau berbekal untuk menghadapi kematian yang semisalnya maka seakan-akan ia telah datang…
Maka setelah itu Al-Imam Asy-Syafi'i pun meninggal, dan tidak lama kemudian sekita 18 hari atau sebulan Asyhub pun meninggal dunia.
(lihat : Taarikh Dimasyq 51/428, Siyar A'laam An-Nubalaa 10/72, Al-Waafi bil Wafayaat 9/165)
Kelima : Inovasi Spektakuler
Diantara keistimewaan Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah beliau telah menyusun sebuah kitab istimewa yang berjudul Ar-Risaalah, yang kitab ini merupakan kitab pertama yang ditulis tentang kaidah-kaidah ushul fiqh. Beliau menulis buku tersebut atas permintaan Abdurrahman bin Mahdi rahimahullah. Beliau menulis surat kepada Asy-Syafi'i –dan tatkala itu Asy-Syafi'i masih muda belia- agar Asy-Syafi'i membuat sebuah buku yang mencakup makna-makna Al-Qur'an dan mencakup ilmu-ilmu hadits, hujjahnya ijmak, serta nasihk dan mansukh dari Al-Qur'an dan hadits. Maka Al-Imam Asy-Syafi'i lalu menyusun kitab Ar-Risaalah. Maka Abdurrahman bin Mahdi berkata :
مَا أُصَلِّي صَلاَةً
إِلاَّ وَأَنَا أَدْعُو لِلشَّافِعِي فِيْهَا
"Tidaklah aku sholat kecuali aku mendoakan Asy-Syafi'i dalam sholatku
tersebut" (Tariikh Baghdaad 2/64-65)Demikian pula halnya dengan kitab Al-Umm yang disusun oleh Al-Imam Asy-Syafi'i sebagai kitab fikih yang disusun dengan penyusunan bab-bab fikih yang luar biasa, sehingga memudahkan para murid beliau untuk belajar dengan baik. Dengan demikian Al-Imam Asy-Syafi'i telah menyusun kitab tentang ushul fikih dan juga menyusun kitab tentang penerapan ushul fikih tersebut dalam kitab fikih beliau yaitu Al-Umm.
Diantara keistimewaan beliau juga adalah beliau telah belajar dari dua madrosah, madrosah Hadits (yang dalam hal ini diwakili oleh Imam Malik yang merupakan guru beliau) dan madrosah Ar-Ro'yu (yang dalam hal ini diwakili oleh Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibaani yang juga merupakan guru beliau). Maka Al-Imam Asy-Syafi'i menggabungkan kebaikan dari dua madrosah ini sehingga jadilah madzhab beliau madzhab yang kokoh.
Murid-Murid Beliau
Beliau
mempunyai banyak murid, yang umumnya menjadi tokoh dan pembesar ulama dan Imam
umat islam, yang paling menonjol adalah:
- Ahmad bin Hanbal, Ahli Hadits dan sekaligus juga Ahli Fiqih dan Imam Ahlus Sunnah dengan kesepakatan kaum muslimin.
- Al-Hasan bin Muhammad Az-Za’farani
- Ishaq bin Rahawaih,
- Harmalah bin Yahya
- Sulaiman bin Dawud Al Hasyimi
- Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid Al Kalbi dan lain-lainnya banyak sekali
Karangan-Karangannya

Wafatnya
Karena
kesibukannya berdakwah dan menebar ilmu, beliau menderita penyakit bawasir yang
selalu mengeluarkan darah. Makin lama penyakitnya itu bertambah parah hingga
akhirnya beliau wafat karenanya. Beliau wafat pada malam Jumat setelah shalat
Isya’ hari terakhir bulan Rajab permulaan tahun 204 dalam usia 54 tahun. Semoga
Allah memberikan kepadanya rahmat-Nya yang luas.
Ar-Rabi
menyampaikan bahwa dia bermimpi melihat Imam Syafi’i, sesudah wafatnya. Dia
berkata kepada beliau, “Apa yang telah diperbuat Allah kepadamu, wahai Abu
Abdillah?” Beliau menjawab, “Allah mendudukkan aku di atas sebuah
kursi emas dan menaburkan pada diriku mutiara-mutiara yang halus.”
Sumber:
Al-Umm
Siyar A’lam an-Nubala’
Manhaj Aqidah Imam asy-Syafi’, terjemah kitab Manhaj al-Imam Asy-Syafi ‘i fi Itsbat al-‘Aqidah karya DR. Muhammad AW al-Aql terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi ‘i, Cirebon
firanda.com
Siyar A’lam an-Nubala’
Manhaj Aqidah Imam asy-Syafi’, terjemah kitab Manhaj al-Imam Asy-Syafi ‘i fi Itsbat al-‘Aqidah karya DR. Muhammad AW al-Aql terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi ‘i, Cirebon
firanda.com
0 komentar:
Posting Komentar