Penetapan puasa ramadhan berdasarkan tempat terbitnya hilal

Para Pembaca sekalian, madzhab Syafi’i menyatakan, “Apabila hilal terlihat di suatu negeri sedangkan orang-orang di negeri lain tidak melihatnya, maka yang diputuskan adalah perkara berikut ini. Kalau kedua negeri itu berdekatan, maka hukumnya sama dengan satu negeri, dan penduduk negeri tersebut diwajibkan untuk melakukan shiyam (puasa). Tetapi kalau negeri tersebut berjauhan, maka ada dua pendapat, yang paling shahih menyatakan bahwa shiyam tidak diwajibkan atas penduduk negeri yang lain.[ Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, 6/274-275].

Kuraib (hamba sahaya Ibnu Abbas RA) meriwayatkan, bahwasannya Ummu Fadhl binti Al-Haris (ibunya Ibnu ‘Abbas RA) mengutus dia untuk menemui Khalifah Mu’awiyah RA di Syam. 
Maka Kuraib berkata, “Kemudian aku datang ke Syam untuk menyelesaikan segala keperluan Ummu Fadhl RA, dan terjadilah hilal Ramadhan, di Syam aku melihatnya pada malam Jum’at. Kemudian aku kembali ke Madinah pada akhir bulan Ramadhan, maka Abdullah bin ‘Abbas RA menanyakanku dan membicarakan masalah hilal, “Kapan kalian melihat hilal?” Maka aku katakan, “Kami melihat hilal malam Jum’at,” kemudian ia bertanya, “Engkau melihatnya sendiri?” "Ya, dan semua orang melihatnya, mereka melaksanakan shiyam, begitu juga Mu’awiyah RA.” Abdullah bin ‘Abbas RA berkata, “Tetapi kami melihatnya malam Sabtu, maka kami akan tetap shiyam hingga kami menyempurnakannya menjadi 30 hari, atau sampai kami melihat hilal Syawal.” Aku bertanya, “Apakah tidak cukup dengan ru’yah dan shiyam Khalifah Mu’awiyah RA?” Beliau menjawab, “Tidak, beginilah Rasulullah menyuruh kami.”[ Shahih Muslim, hadits no 1087; Sunan Abu Dawud, hadits no 2332; Sunan At-Tirmidzi, hadits no. 693].

Menurut madzhab Maliki, hadits di atas merupakan hujjah bahwasannya apabila suatu negeri saling berjauhan sebagaimana Syam dan Hijaz, maka setiap penduduk dari masing-masing negeri tersebut wajib melaksanakan hasil ru’yah negerinya bukan ru’yah negeri orang lain, walaupun ru'yah telah menjadi keputusan Khalifah, selama Khalifah tidak mewajibkan kepada rakyatnya. Apabila dia mewajibkannya, maka siapapun tidak boleh menyelisihi perintahnya.”[ Tafsir Al-Qurthubi, 2/295-296].


Sumber: buku Fikih Ramadhan karya Tim Ulin Nuha Ma’had Aly an-Nuur (1429 H)
Dinukil : annursolo.com


Share on Google Plus

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar