Rajab
di Antara Bulan Haram Bulan Rajab terletak antara bulan Jumadil Akhir dan bulan
Sya’ban. Bulan Rajab sebagaimana bulan Muharram termasuk bulan haram.
Allah
Ta’ala berfirman :
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ
اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ
وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا
تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
“Sesungguhnya
bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di
waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah
(ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam
bulan yang empat itu.” (Qs. At Taubah: 36)
Ibnu
Rajab mengatakan, “Allah Ta’ala menjelaskan bahwa sejak penciptaan langit dan
bumi, penciptaan malam dan siang, keduanya akan berputar di orbitnya. Allah pun
menciptakan matahari, bulan dan bintang lalu menjadikan matahari dan
bulan berputar pada orbitnya. Dari situ muncullah cahaya matahari dan juga
rembulan. Sejak itu, Allah menjadikan satu tahun menjadi dua belas bulan sesuai
dengan munculnya hilal.
Satu
tahun dalam syariat Islam dihitung berdasarkan perpuataran dan munculnya bulan,
bukan dihitung berdasarkan perputaran matahari sebagaimana yang dilakukan oleh
Ahli Kitab.” (Latho-if Al Ma’arif, 202)
![]() |
Ada apa di balik bulan rajab |
Lalu
apa saja empat bulan suci tersebut? Dari Abu Bakroh, Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda :
الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ
وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ،
ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ،
وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
“Setahun
berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu
tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga
bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan
lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan
Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679)
Jadi
empat bulan suci yang dimaksud adalah (1) Dzulqo’dah; (2) Dzulhijjah; (3)
Muharram; dan (4) Rajab.
Di Balik Bulan Haram
Lalu
kenapa bulan-bulan tersebut disebut bulan haram? Al Qodhi Abu Ya’la
rahimahullah mengatakan, “Dinamakan bulan haram karena dua makna.
Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang
Jahiliyyah pun meyakini demikian.
Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram
lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan tersebut. Demikian
pula pada saat itu sangatlah baik untuk melakukan amalan ketaatan.” (Lihat
Zaadul Maysir, tafsir surat At Taubah ayat 36)
Karena
pada saat itu adalah waktu sangat baik untuk melakukan amalan ketaatan,
sampai-sampai para salaf sangat suka untuk melakukan puasa pada bulan haram.
Sufyan Ats Tsauri mengatakan, “Pada bulan-bulan haram, aku sangat senang
berpuasa di dalamnya.” (Latho-if Al Ma’arif, 214)
Ibnu
‘Abbas mengatakan, “Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan
haram, dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut
dosanya akan lebih besar, dan amalan sholeh yang dilakukan akan menuai pahala
yang lebih banyak.” (Latho-if Al Ma’arif, 207)
Bulan Haram Mana yang Lebih Utama?
Para
ulama berselisih pendapat tentang manakah di antara bulan-bulan haram tersebut
yang lebih utama. Ada ulama yang mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan
Rajab, sebagaimana hal ini dikatakan oleh sebagian ulama Syafi’iyah. Namun An
Nawawi (salah satu ulama besar Syafi’iyah) dan ulama Syafi’iyah lainnya
melemahkan pendapat ini. Ada yang mengatakan bahwa yang lebih utama adalah
bulan Muharram, sebagaimana hal ini dikatakan oleh Al Hasan Al Bashri dan
pendapat ini dikuatkan oleh An Nawawi. Sebagian ulama yang lain mengatakan
bahwa yang lebih utama adalah bulan Dzulhijjah. Ini adalah pendapat Sa’id bin
Jubair dan lainnya, juga dinilai kuat oleh Ibnu Rajab dalam Latho-if Al Ma’arif
(hal. 203).
Hukum yang Berkaitan Dengan Bulan Rajab
Hukum
yang berkaitan dengan bulan Rajab amatlah banyak, ada beberapa hukum yang sudah
ada sejak masa Jahiliyah. Para ulama berselisih pendapat apakah hukum ini masih
tetap berlaku ketika datang Islam ataukah tidak. Di antaranya adalah
haramnya peperangan ketika bulan haram (termasuk bulan Rajab). Para ulama berselisih
pendapat apakah hukum ini masih tetap diharamkan ataukah sudah dimansukh
(dihapus hukumnya).
Mayoritas
ulama menganggap bahwa hukum tersebut sudah dihapus. Ibnu Rajab mengatakan,
“Tidak diketahui dari satu orang sahabat pun bahwa mereka berhenti berperang pada
bulan-bulan haram, padahal ada faktor pendorong ketika itu. Hal ini menunjukkan
bahwa mereka sepakat tentang dihapusnya hukum tersebut.” (Lathoif Al Ma’arif,
210)
Begitu
juga dengan menyembelih (berkurban). Di zaman Jahiliyah dahulu, orang-orang
biasa melakukan penyembelihan kurban pada tanggal 10 Rajab, dan dinamakan
‘atiiroh atau Rojabiyyah (karena dilakukan pada bulan Rajab). Para ulama
berselisih pendapat apakah hukum ‘atiiroh sudah dibatalkan oleh Islam ataukah
tidak. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa ‘atiiroh sudah dibatalkan hukumnya
dalam Islam.
Hal
ini berdasarkan hadits Bukhari-Muslim, dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
لاَ فَرَعَ وَلاَ عَتِيرَةَ
“Tidak
ada lagi faro’ dan ‘atiiroh.” (HR. Bukhari no. 5473 dan Muslim no.
1976). Faro’ adalah anak pertama dari unta atau kambing, lalu dipelihara dan
nanti akan disembahkan untuk berhala-berhala mereka.
Al
Hasan Al Bashri mengatakan, “Tidak ada lagi ‘atiiroh dalam Islam. ‘Atiiroh
hanya ada di zaman Jahiliyah. Orang-orang Jahiliyah biasanya berpuasa di bulan
Rajab dan melakukan penyembelihan ‘atiiroh pada bulan tersebut. Mereka
menjadikan penyembelihan pada bulan tersebut sebagai ‘ied (hari besar yang akan
kembali berulang) dan juga mereka senang untuk memakan yang manis-manis atau
semacamnya ketika itu.” Ibnu ‘Abbas sendiri tidak senang menjadikan bulan Rajab
sebagai ‘ied.
‘Atiiroh
sering dilakukan berulang setiap tahunnya sehingga menjadi ‘ied (sebagaimana
Idul Fitri dan Idul Adha), padahal ‘ied (perayaan) kaum muslimin hanyalah Idul
Fithri, Idul Adha dan hari tasyriq. Dan kita dilarang membuat ‘ied selain yang
telah ditetapkan oleh ajaran Islam. Ada sebuah riwayat,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَنْهَى عَن
صِيَامِ رَجَبٍ كُلِّهِ ، لِاَنْ لاَ يَتَّخِذَ عِيْدًا
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berpuasa pada seluruh hari di bulan
Rajab agar tidak dijadikan sebagai ‘ied.” (HR. ‘Abdur Rozaq, hanya sampai
pada Ibnu ‘Abbas (mauquf). Dikeluarkan pula oleh Ibnu Majah dan Ath Thobroniy
dari Ibnu ‘Abbas secara marfu’, yaitu sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam)
Ibnu
Rajab rahimahullah mengatakan, “Intinya, tidaklah dibolehkan bagi
kaum muslimin untuk menjadikan suatu hari sebagai ‘ied selain apa yang telah
dikatakan oleh syari’at Islam sebagai ‘ied yaitu Idul Fithri, Idul Adha dan
hari tasyriq. Tiga hari ini adalah hari raya dalam setahun. Sedangkan ‘ied
setiap pekannya adalah pada hari Jum’at. Selain hari-hari tadi, jika dijadikan
sebagai ‘ied dan perayaan, maka itu berarti telah berbuat sesuatu yang tidak
ada tuntunannya dalam Islam (alias bid’ah).” (Latho-if Al Ma’arif, 213)
Hukum
lain yang berkaitan dengan bulan Rajab adalah shalat dan puasa.
Mengkhususkan Shalat Tertentu dan Shalat Roghoib di bulan Rajab
Tidak
ada satu shalat pun yang dikhususkan pada bulan Rajab, juga tidak ada anjuran
untuk melaksanakan shalat Roghoib pada bulan tersebut.
Shalat
Roghoib atau biasa juga disebut dengan shalat Rajab adalah shalat yang
dilakukan di malam Jum’at pertama bulan Rajab antara shalat Maghrib dan Isya.
Di siang harinya sebelum pelaksanaan shalat Roghoib (hari kamis pertama
bulan Rajab) dianjurkan untuk melaksanakan puasa sunnah. Jumlah raka’at shalat
Roghoib adalah 12 raka’at. Di setiap raka’at dianjurkan membaca Al Fatihah
sekali, surat Al Qadr 3 kali, surat Al Ikhlash 12 kali. Kemudian setelah
pelaksanaan shalat tersebut dianjurkan untuk membaca shalawat kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak 70 kali.

Ibnul
Jauziy rahimahullah mengatakan, “Sungguh, orang yang telah membuat bid’ah
dengan membawakan hadits palsu ini sehingga menjadi motivator bagi orang-orang
untuk melakukan shalat Roghoib dengan sebelumnya melakukan puasa, padahal siang
hari pasti terasa begitu panas. Namun ketika berbuka mereka tidak mampu untuk
makan banyak. Setelah itu mereka harus melaksanakan shalat Maghrib lalu
dilanjutkan dengan melaksanakan shalat Raghaib. Padahal dalam shalat Raghaib,
bacaannya tasbih begitu lama, begitu pula dengan sujudnya. Sungguh orang-orang
begitu susah ketika itu. Sesungguhnya aku melihat mereka di bulan Ramadhan dan
tatkala mereka melaksanakan shalat tarawih, kok tidak bersemangat seperti
melaksanakan shalat ini?! Namun shalat ini di kalangan awam begitu urgent.
Sampai-sampai orang yang biasa tidak hadir shalat Jama’ah pun ikut
melaksanakannya.” (Al Mawdhu’aat li Ibnil Jauziy, 2/125-126)
Shalat
Roghoib ini pertama kali dilaksanakan di Baitul Maqdis, setelah 480 Hijriyah
dan tidak ada seorang pun yang pernah melakukan shalat ini sebelumnya. (Al
Bida’ Al Hawliyah, 242)
Ath
Thurthusi mengatakan, “Tidak ada satu riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat ini. Shalat ini juga tidak
pernah dilakukan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum, para tabi’in, dan
salafush sholeh –semoga rahmat Allah pada mereka-.” (Al Hawadits wal Bida’,
hal. 122. Dinukil dari Al Bida’ Al Hawliyah, 242)
Mengkhususkan Berpuasa di Bulan Rajab
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Adapun mengkhususkan bulan Rajab dan Sya’ban
untuk berpuasa pada seluruh harinya atau beri’tikaf pada waktu tersebut,
maka tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para sahabat mengenai hal ini. Juga hal ini tidaklah dianjurkan oleh
para ulama kaum muslimin. Bahkan yang terdapat dalam hadits yang shahih
(riwayat Bukhari dan Muslim) dijelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam biasa banyak berpuasa di bulan Sya’ban. Dan beliau dalam setahun tidaklah
pernah banyak berpuasa dalam satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban,
jika hal ini dibandingkan dengan bulan Ramadhan.
Adapun
melakukan puasa khusus di bulan Rajab, maka sebenarnya itu semua adalah
berdasarkan hadits yang seluruhnya lemah (dho’if) bahkan maudhu’ (palsu). Para
ulama tidaklah pernah menjadikan hadits-hadits ini sebagai sandaran. Bahkan
hadits-hadits yang menjelaskan keutamaannya adalah hadits yang maudhu’ (palsu)
dan dusta.”(Majmu’ Al Fatawa, 25/290-291)
Bahkan
telah dicontohkan oleh para sahabat bahwa mereka melarang berpuasa pada seluruh
hari bulan Rajab karena ditakutkan akan sama dengan puasa di bulan Ramadhan,
sebagaimana hal ini pernah dicontohkan oleh ‘Umar bin Khottob. Ketika bulan
Rajab, ‘Umar pernah memaksa seseorang untuk makan (tidak berpuasa), lalu beliau
katakan
لَا تُشَبِّهُوهُ بِرَمَضَانَ
“Janganlah
engkau menyamakan puasa di bulan ini (bulan Rajab) dengan bulan
Ramadhan.” (Riwayat ini dibawakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam
Majmu’ Al Fatawa, 25/290 dan beliau mengatakannya shahih. Begitu pula riwayat
ini dikatakan bahwa sanadnya shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil)
Adapun
perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berpuasa di bulan-bulan haram
yaitu bulan Rajab, Dzulqo’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, maka ini adalah
perintah untuk berpuasa pada empat bulan tersebut dan beliau tidak
mengkhususkan untuk berpuasa pada bulan Rajab saja. (Lihat Majmu’ Al Fatawa,
25/291)
Imam Ahmad mengatakan, “Sebaiknya seseorang tidak berpuasa (pada bulan Rajab) satu atau dua hari.” Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Aku tidak suka jika ada orang yang menjadikan menyempurnakan puasa satu bulan penuh sebagaimana puasa di bulan Ramadhan.” Beliau berdalil dengan hadits ‘Aisyah yaitu ‘Aisyah tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa sebulan penuh pada bulan-bulan lainnya sebagaimana beliau menyempurnakan berpuasa sebulan penuh pada bulan Ramadhan. (Latho-if Ma’arif, 215)
Ringkasnya,
berpuasa penuh di bulan Rajab itu terlarang jika memenuhi tiga point berikut:
- Jika dikhususkan berpuasa penuh pada bulan tersebut, tidak seperti bulan lainnya sehingga orang-orang awam dapat menganggapnya sama seperti puasa Ramadhan.
- Jika dianggap bahwa puasa di bulan tersebut adalah puasa yang dikhususkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana sunnah rawatib (sunnah yang mengiringi amalan yang wajib).
- Jika dianggap bahwa puasa di bulan tersebut memiliki keutamaan pahala yang lebih dari puasa di bulan-bulan lainnya. (Lihat Al Hawadits wal Bida’, hal. 130-131. Dinukil dari Al Bida’ Al Hawliyah, 235-236)
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Allahumma
sholli wa wasallim ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa
shohbihi ajma'in
Oleh : Muhammad Abduh Tuasikal
0 komentar:
Posting Komentar